Stratigrafi berasal dari kata strata (stratum) yang berarti lapisan (tersebar) yang berhubungan dengan batuan, dan grafi (graphic) yang berarti pemerian/ gambaran atau urut-urutan lapisan. komposisi dan umur relatif serta distribusi peralapisan tanan dan interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk menjelaskan sejarah bumi. Dari hasil perbandingan atau korelasi antarlapisan yang berbeda dapat dikembangkan lebih lanjut studi mengenai litologi (litostratigrafi), kandungan fosil (biostratigrafi), dan umur relatif maupun absolutnya (kronostratigrafi). Jadi stratigrafi adalah ilmu yang mempelajari pemerian perlapisan batuan pada kulit bumi. Secara luas stratigrafi merupakan salah satu cabang ilmu geologi yang membahas tentang urut-urutan, hubungan dan kejadian batuan di alam (sejarahnya) dalam ruang dan waktu geologi
STRATIGRAFI
Ilmu stratigrafi muncul di britania raya pada abad ke-19. Perintisnya adalah William smith. Kala itu diamati bahwa beberapa lapisan tanah muncul pada urutan yang sama (superposisi). Kemudian ditarik kesimpulan bahwa lapisan tanah yang terendah merupakan lapisan yang tertua, dengan beberapa pengecualian.
Karena banyak lapisan tanah merupakan kesinambungan yang utuh ke tempat yang berbeda-beda maka, bisa dibuat perbandingan pada sebuah daerah yang luas. Setelah beberapa waktu, dimiliki sebuah sistem umum periode-periode geologi meski belum ada penamaan waktunya
2. 2. PRINSIP STRATIGRAFI
Ada beberapa prinsip dasar yang berlaku didalam pembahasan mengenai stratigrafi, yaitu:
1. Hukum atau prinsip yang dikemukakan oleh Steno (1669), terdiri dari:
• Prinsip Superposisi (Superposition Of Strata)
Didalam suatu urutan perlapisan batuan maka lapisan paling bawah relatif lebih tua umurnya daripada lapisan yang berada diatasnya selama belum mengalami deformasi. Konsep ini berlaku untuk perlapisan berurutan.
• Prinsip Kesinambungan Lateral (Lateral Continuity)
Lapisan yang diendapkan oleh air terbentuk terus-menerus secara lateral dan hanya membaji pada tepian pengendapan pada masa cekungan itu terbentuk.
• Prinsip Akumulasi Vertikal (Original Horizontality)
Lapisan sedimen pada mulanya diendapkan dalam keadaan mendatar (horizontal), sedangkan akumulasi pengendapannya terjadi secara vertikal (principle of vertical accumulation).
2. Hukum yang dikemukakan oleh James Hutton (1785)
Hukum atau prinsip ini lebih dikenal dengan azasnya yaitu uniformitarisme
yaitu proses-proses yang terjadi pada masa lampau mengikuti hukum yang berlaku pada proses-proses yang terjadi sekarang, atau dengan kata lain “masa kini merupakan kunci dari masa lampau” (“the present is the key to the past”). Maksudnya adalah bahwa proses-proses geologi alam yang terlihat sekarang ini dipergunakan sebagai dasar pembahasan proses geologi masa lampau.
3. Hukum Intrusi/Penerobosan (Cross Cutting Relationship) oleh AWR Potter dan H. Robinson.
Suatu intrusi (penerobosan) adalah lebih muda daripada batuan yang diterobosnya
4. Hukum Urutan Fauna (Law of Fauna Succession) oleh De Soulovie (1777)
Dalam urut-urutan batuan sedimen sekelompok lapisan dapat mengandung kumpulan fosil tertentu dengan sekelompok lapisan di atas maupun di bawahnya.
5. Prinsip William Smith (1816)
Urutan lapisan sedimen dapat dilacak (secara lateral) dengan mengenali kumpulan fosilnya yang didiagnostik jika kriteria litologinya tidak menentu.
6. Prinsip Kepunahan Organik oleh George Cuvier (1769-1832)
Dalam suatu urutan stratigrafi, lapisan batuan yang lebih muda mengandung fosil yang mirip dengan makhluk yang hidup sekarang dibandingkan dengan lapisan batuan yang umurnya lebih tua.
Didalam penyelidikan stritigrafi ada dua unsur penting pembentuk stratigrafi yang perlu di ketahui, yaitu:
1. Unsur batuan
Suatu hal yang penting didalam unsur batuan adalah pengenalan dan pemerian litologi. Seperti diketahui bahwa volume bumi diisi oleh batuan sedimen 5% dan batuan non-sedimen 95%. Tetapi dalam penyebaran batuan, batuan sedimen mencapai 75% dan batuan non-sedimen 25%. Unsur batuan terpenting pembentuk stratigrafi yaitu sedimen dimana sifat batuan sedimen yang berlapis-lapis memberi arti kronologis dari lapisan yang ada tentang urut-urutan perlapisan ditinjau dari kejadian dan waktu pengendapannya maupun umur setiap lapisan.
Dengan adanya ciri batuan yang menyusun lapisan batuan sedimen, maka dapat dipermudah pemeriannya, pengaturannya, hubungan lapisan batuan yang satu dengan yang lainnya, yang dibatasi oleh penyebaran ciri satuan stratigrafi yang saling berhimpit, bahkan dapat berpotongan dengan yang lainnya.
2. Unsur perlapisan
Unsur perlapisan merupakan sifat utama dari batuan sedimen yang memperlihatkan bidang-bidang sejajar yang diakibatkan oleh proses-proses sedimetasi. Mengingat bahwa perlapisan batuan sedimen dibentuk oleh suatu proses pengendapan pada suatu lingkungan pengendapan tertentu, maka Weimer berpendapat bahwa prinsip penyebaran batuan sedimen tergantung pada proses pertumbuhaan lateral yang didasarkan pada kenyataan, yaitu bahwa:
• Akumulasi batuan pada umumnya searah dengan aliran media transport, sehingga kemiringan endapan mengakibatkan terjadinya perlapisan selang tindih (overlap) yang dibentuk karena tidak seragamnya massa yang diendapkannya.
• Endapan di atas suatu sedimen pada umumnya cenderung membentuk sudut terhadap lapisan sedimentasi di bawahnya.
2. 3. STRATIGRAFI PRA-KAMBRIUM
Di Indonesia, kita terutama hanya banyak bermain di hampir 1,5 % saja episode Bumi bernama zaman Paleogen dan Neogen. Atau, manusia hanya “banyak” tahu di hampir 12 % saja episode Bumi bernama kurun Fanerozoikum, sementara 88 % episode Bumi yaitu sejak penciptannya sampai Kambrium, pengetahuan kita sedikit sekali. Ini adalah cerita tentang yang sedikit sekali itu, pra-Kambrium, yang serbalangka dan serbarumit.
“Studying the Earth becomes increasingly difficult and uncertain the further one goes back in geological time” (Robb et al., 2004)
Berikut ini adalah uraian singkat tentang stratigrafi pra-Kambrium (pre-Cambrian) berdasarkan beberapa sumber dan bagaimana kabarnya di Indonesia . Nama2 waktu geologi diterjemahkan dari bahasa aslinya mengacu kepada Pedoman Umum Pembentukan Istilah (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1980) dan Kamus Istilah Geologi (Purbo-Hadiwidjoyo, 1981)
Bumi berdasarkan pengetahuan terbaru dibentuk pada 4560 Ma (million years ago) Kambrium dimulai pada 542 Ma (Geologic Time Scale 2004 – Gradstein et al., 2004). Maka, pra-Kambrium berlangsung dari 4560-542 Ma, atau meliputi sekitar 7/8 sejarah Bumi. Sungguhpun demikian, betapa sedikitnya pengetahuan kita tentangnya. Kurun Fanerozoikum (Phanerozoic) 542 Ma-sekarang adalah kurun biostratigrafi, dimulai dengan melimpahnya fosil akibat Cambrian Explosion terus sampai ke zaman Kenozoikum. Pembagiannya ke dalam masa, zaman, kala, dan tingkat (stage, pembagian internasional) adalah didasarkan kepada biostratigrafi. Sementara itu, pembagian waktu pra-Kambrium didasarkan kepada geokronometri isotop-isotop radioaktif pada mineral, batuan, dan kerak yang ditemui. Bisa dipahami sebab kehidupan pada pra-Kambrium sangat minimal dan baru berkembang.
Skala waktu geologi menurut Thomson
Seperti telah kita ketahui, secara garis besar waktu geologi dibagi menjadi tiga kurun (eon) : Arkeum (Archean), Proterozoikum, dan Fanerozoikum. Pra-Kambrium bukan istilah stratigrafi normal di dalam Skala Waktu Geologi, ia hanya menunjuk kepada semua batuan dan peristiwa sebelum Kambrium. Pra-Kambrium meliputi Kurun Arkeum dan Kurun Proterozoikum.
Kurangnya fosil yang terawetkan dan tak bervariasi, kurangnya volume singkapan, dan meningkatnya intensitas metamorfisme dan kompleksitas tektonik, dan tidak pastinya konfigurasi serta tataan benua-benua pada saat itu, semuanya telah mengakibatkan penetapan skala waktu kronostratigrafi pra-Kambrium bermasalah. Penetapan skala waktu ini diakui para ahlinya sebagai pekerjaan yang luar biasa sulit dan membuat frustasi.
Apa yang terjadi dengan Kurun Fanerozoikum tak terjadi dengan kedua kurun sebelumnya. Kurun Fanerozoikum bersamaan dengan daur superkontinen yang paling baru – urutan-urutan peristiwa geologi yang dapat dipahami dengan baik tentang bagaimana Pangaea tersusun dan terpisah-pisah kembali. Kurun ini juga bersamaan dengan periode ketika kehidupan multisel mengalami diversifikasi dan proliferasi yang luar biasa besarnya. Maka, tak mengherankan bila skala waktu geologi Kurun Fanerozoikum dapat ditetapkan dengan detail, secara global saling berkorelasi, yang metode kronostratigrafinya dikawal dengan ketat oleh data biostratigrafi, isotop, dan magnetostratigrafi.
Meskipun demikian, para ahli pra-Kambrium dengan segala daya upayanya, meskipun penuh kesulitan dan frustasi, berhasil juga menyusun dan merekonstruksi geologi Kurun Arkeum dan Proterozoikum.
Kurun Arkeum dibagi menjadi empat masa (era) : Eoarkeum (…-3600 Ma), Paleoarkeum (3600-3200 Ma), Mesoarkeum (3200-2800 Ma), dan Neoarkeum (2800-2500 Ma). Tidak ada lagi pembagian lebih lanjut (zaman-period, kala-epoch, tingkat-stage). Batas bawah Arkeum tidak diketahui, batas atasnya 2500 Ma. Arkeum tak punya batas bawah sebab mandala (terrane) geologi yang primitif yang mewakili masa ini masih terus dicari, batuan dan mineral tertua di Bumi masih terus dicari dan umur2 yang telah ditemukan terus bertambah semakin tua. Mineral tertua di Bumi yang pernah ditera (dating) adalah sebuah mineral zirkon hasil rombakan yang berasal dari sampel bernama W74, sebuah metakonglomerat yang tersingkap di wilayah Jack Hill, Australia Barat. Butir zirkon ini menghasilkan umur 4408 +/- 8 Ma berdasarkan geokronologi isotop U-Pb. Di dalam sampel itu juga tercampur mineral2 dengan umur 4100-4300 Ma (Wilde et al., 2001 – Evidence from detrital zircons for the existence of continental crust and oceans on the Earth 4.4 Gyr ago : Nature 409 (6817) p. 175-178).
Meskipun batuan metakonglomerat pengandung zirkon ini jauh lebih muda umurnya, keberadaan zirkon di dalamnya telah menandakan adanya kerak kontinen (yaitu granitik) yang umurnya 150 juta tahun setelah pembentukan Bumi sendiri pada sekitar 4560 Ma. Zirkon adalah mineral paling stabil dan terdapat di dalam granit.
Batuan paling tua yang pernah ditera sampai saat ini adalah ortogenes Acasta dari Slave Craton di Kanada, yang menghasilkan umur isotop U-Pb 4031 +/- 3 Ma (Bowring dan Williams, 1999 – Priscoan 4.00-4.03 Ga orthogneisses from NW Canada : Contribution to Mineralogy and Petrology, 134 p. 3-16). Sedangkan, segmen kerak Arkeum yang paling tua dan telah terpetakan dengan baik adalah kompleks genes Itsaq (dulu disebut Amitsoq) dan jalur greenstone Isua di Greenland. Ortogenes tertua dari Itsaq berumur 3872 +/- 10 Ma.
Apakah dapat diharapkan ditemukan segmen kerak yang lebih tua dari Itsaq ? Mungkin kecil sebab bombardemen meteor terjadi sangat intensif menyerang Bumi dan Bulan pada sekitar periode ini yang memuncak pada 3900 Ma (Cohen et al., 2000 – Support for the lunar cataclysm hypothesis from lunar meteorite impact melt ages : Science 290 p 1754-6), bombardemen ini bisa menghancurkan kebanyakan kerak Bumi yang sudah ada sebelum 3900 Ma. Batuan dengan umur lebih tua dari 3900 Ma jelas ada, tetapi ada pun terawetkan sangat langka atau telah terdisagregasi sampai sekarang tinggal sebagau xenocrysts atau detritus.
Kurun Proterozoikum bermula pada 2500 Ma dan berakhir pada 542 Ma (batas bawah Kambrium). Kurun ini dibagi ke dalam tiga masa, dari tua ke muda meliputi Paleoproterozoikum (2500 -1600 Ma, dibagi lagi menjadi zaman : Siderium, Riasium, Orosirium, Staterium); Mesoproterozoikum (1600-1000 Ma, dibagi lagi menjadi zaman : Kalimium, Ektasium, Stenium); dan Neoproterozoikum (1000-542 Ma, dibagi lagi menjadi zaman : Tonium, Kriogenium, Ediakarium).
Proterozoikum punya potensi biostratigrafi yang lebih baik daripada Arkeum karena hadirnya stromatolit – mikrooraganisme simbiose ganggang dan bakteri yang aktivitas metabolisme dan pertumbuhannya di laut telah menyebabkan penjebakan sedimen, pengikatan, dan pengendapan membentuk struktur2 seperti lapisan, sembulan, atau kubah. Selain stromatolit yang sepanjang Proterozoikum berubah pola dan susunannya bergantung kepada lingkungannya, potensi biostratigrafi Proterozoikum datang dari fosil-fosil eukariotik seperti acritarch (spora alga) yang digunakan untuk mengkorelasikan zaman-zaman di Neoproterozoikum. Fosil paling terkenal pada kurun ini adalah kelompok fosil Ediakara yang muncul pada ujung Proterozoikum memasuki Kambrium sehingga namanya menjadi nama zaman paling terakhir (Ediacaran) di Kurun Proterozoikum. Meskipun demikian, biostratigrafi di sini lebih menunjukkan lingkungannya daripada umurnya.
Kurun Proterozoikum pun dikenal dengan pernah hadirnya dua superkontinen sebelum Pangaea, yaitu Rodinia pada Mesoproterozoikum dan Pannotia pada Neoproterozoikum. Keberadaan kedua superkontinen ini didasarkan kepada data geokronologi, paleomagnetisme dan penafsiran petro-tektonik.
Bagaimana di Indonesia ? Adakah batuan atau mineral berumur Kurun Arkeum atau Kurun Proterozoikum ? Ada, tetapi sangat langka.
Peneraan absolut umur tertua di Indonesia berasal dari mineral2 zirkon di dalam batuan volkanik Old Andesite Oligo-Miosen di sebelah selatan Jawa Timur dan Jawa Tengah yang menunjukkan umur 2500-3000 Ma (Mesoarkeum-Neoarkeum) (Smyth et al., 2003, 2005) menggunakan teknik radiometri U-Pb. Ditafsirkan bahwa di bawah Pegunungan Selatan itu terdapat basement Arkeum yang kemudian terlibat dalam partial melting saat subduksi Oligo-Miosen terjadi dan menghasilkan jalur volkanik Old-Andesite. Sebagian material volkanik itu mengandung zirkon Arkeum.
Sebaran umur zirkon ini mirip peneraan umur zirkon dari Perth, yang diduga berasal dari Yilgarn Craton berumur 2500-4200 Ma. Maka, ditafsirkan kemudian bahwa mungkin craton ini pecah lalu sebagian massanya sebagai continental sliver hanyut ke arah Jawa oleh pemekaran Paleo-Tethys (?), dan akhirnya berbentur dengan Sundaland sebelum Tersier, dan pada kala Oligo-Miosen terlibat dalam subduksi yang menghasilkan OAF (Old Andesite Formation).
Boleh-boleh saja berpendapat begitu, tetapi sebelum batuan dan kerak kontinen Pra-Kambrium ditemukan dan ditera di selatan Jawa, saya sulit percaya dengan penafsiran tersebut. Beberapa butir mineral zirkon detrital yang tercampur dalam material volkanik Oligo-Miosen tak serta merta membuktikan bahwa ada mikro-kontinen pra-Kambrium di selatan Jawa, apalagi kita bisa menentukan outline mikro-kontinen ini.
Lalu, di Kepala Burung Papua, Pieters et al.(1983) pernah menera umur batuan paling tua di Indonesia yaitu berasal dari kerakal granodiorit pada interkalasi metakonglomerat di dalam Formasi Kemum (Silur-Devon) yang menghasilkan umur 1250 Ma (Mesoproterozoikum) menggunaan peneraan K-Ar. Kerakal ini tentu berasal dari suatu batuan induk yang tua juga, tetapi tidak pernah ditemukan di Kepala Burung.
Seorang teman pernah mengatakan bahwa di Sundaland ada batuan berumur Arkeum. Setahu saya, tak ada batuan bahkan mineral berumur Arkeum di Sundaland. Sundaland adalah Mesozoic continental core of SE Asia. Pentarikhan granit SW Kalimantan (Hamilton, 1979), Malay Peninsula (Liew and Page, 1985), Malay Tin Belt (Cobbing et al., 1986) dan Sumatra (Imtihanah, 2000) tak menghasilkan material berumur Arkeum atau menunjukkan adanya kerak batuandasar berumur Arkeum di wilayah ini. Bukti2 geokimia juga menunjukkan hadirnya basement yang berumur tak lebih tua dari Proterozoikum, seperti di Malay peninsula (contoh Liew & Page, 1985).
Informasi terbaru tentang umur basement di wilayah Sundaland berasal dari studi sediment provenance analyses sedimen Paleogen di Kalimantan bagian utara yang menggunakan metode U-Pb SHRIMP dating of zircons (van Hattum, 2005). Dari penelitian ini ditunjukkan bahwa sedimen Paleogen di wilayah ini diinterpretasikan berasal dari erosi Schwaner Granites of SW Kalimantan dan dari Malay Tin Belt (van Hattum, 2005) dan tak mengandung Archean zircons. Artinya adalah bahwa tak ada kerak berumur Archean di bawah Pegunungan Schwaner, Kalimantan atau Malay peninsula.
Hanya di dua tempat di Indonesia kita mempunyai sampel berumur pra-Kambrium : mineral zirkon di selatan Jawa berumur 2500-3000 Ma dan granodiorit di Kepala Burung berumur 1250 Ma. Memang, geologi pra-Kambrium berarti kelangkaan dan kesulitan
2. 4. PERKEMBANGAN KLASIFIKASI STRATIGRAFI
2.4.1. International Stratigraphic Guides, 1994 dan International Subcommission for Stratigraphic Classification. (R.P.Koesoemadinata)
1. Perkembangan klasifikasi stratigrafi dalam dunia internasional memperlihatkan kecenderungan untuk memisahkan kategori klasifikasi deskriptif dan interpretatif. Stratigrafi didasarkan padafakta yang terlihat di lapangan dan tidak secara interpretatif.
2. Penamaan satuan yang bersifat interpretatif sebaiknya dihindari, satuan tersebut dinyatakan sebagai satuan tidak resmi (contoh: Seismik Stratigrafi, Sikuen Stratigrafi).
3. Kategori deskriptif dibatasi pada kriteria litologi dan kandungan fosilnya, sedangkan criteria sifat-sifat fisik, kimia cenderung hanya dibatasi pada sifat yang dapat menentukan waktu atau umur , seperti paleomagnetic polarity. Satuan berdasarkan karakteristik log, penampang seismik tidak dapat dinyatakan sebagai satuan resmi, walaupun diakui keberadaannya
4. Kategori yang bersifat interpretatif : penafsirannya dibatasi pada hal-hal yang menyangkut waktu/ umur. Kategori satuan stratigrafi yang bersifat interpretative seperti lithogenetic units, satuan lingkungan pengendapan, cyclothems tidak dapat diterima sebagai satuan stratigrafi resmi
5. Keberadaan satuan tidak resmi dapat diakui walaupun sangat tidak dianjurkan
2.4.2. Permasalahan Stratigrafi Nasional Sekarang
1. Pada kebanyakan makalah dalam publikasi IPA, IAGI menggunakan nama tidak resmi, karena penulis umumnya tidak sanggup mengajukannya secara resmi, karena peraturannya sangat banyak. Hal tersebut mendorong semakin banyaknya satuan tidak resmi terutama dalam kalangan industri.
2. Tidak konsisten dalam penamaan formasi. Dalam satu cekungan dinamai 2 atau 3 nama satuan resmi oleh peneliti yang berbeda.
3. Pada cekungan yang berbeda (yang lain), masih ada pemeta yang menggunakan nama formasi yang sama dengan cekungan di tempat lain.
4. Penyusunan satuan stratigrafi gunungapi dalam SSI, didasarkan pada genesa bukan secara diskriptif. Pembagian secara genesa tersebut mengakibatkan hanya berlaku untuk gunungapi Kuarter yang masih terlihat bentuk-bentuknya.
5. Konsep stratigrafi tradisional masih lebih banyak digunakan, walaupun secara eksplisit. Sikuenstratigrafi sudah tercantum dalam SSI 1996.
6. Sandi Stratigrafi Indonesia 1996 mengandung pembagian satuan yang bersifat diskriptif dangenetik. Hal ini berarti tidak mengidahkan anjuran dari International Stratigraphic Guides, 1994
2.4.3. Sandi Stratigrafi Indonesia 1996. (soejono martodjojo)
Pencantuman Satuan Stratigrafi Gunungapi (BAB 111), merupakan wujud keprihatinan terhadap tidak adanya wadah penamaan yang dapat dipakai untuk gunungapi di Indonesia. Di negara maju, sistem penamaan dalam pemetaan gunungapi sudah mampu memberikan sumbangan terhadap peramalan kegiatan dan bahayanya. Ada keinginan dibuat unit-unit stratigrafi lainnya dalam SSI-1996, seperti Tektonostratigrafi, Stratigrafi Kuarter, dan lain-lain sayangnya draft dari para pengusul atas satuan tersebut tidak terselesaikan dalam batas waktunya. Mendukung dibuatnya Lexicon Stratigrafi di Indonesia bagi masing-masing satuan stratigrafi. Dengan catatan bahwa Lexicon ini lebih bersifat literatur resmi, tetapi masih terbuka bagi perubahan sesuai dengan perkembangan ilmu dan akumulasi data yang ada. Panitia Sandi Stratigrafi Indonesia perlu dilestarikan dan diluaskan sehingga mencakup organisasi lain yang bersangkutan dengan stratigrafi di Indonesia. Tujuan penggolongan Stratigrafi perlu menjadi bahan pertimbangan
2.4.4. Sandi Stratigrafi Indonesia 1996: Suatu Catatan Perkembangan Sandi Stratigrafi Indonesia. (Djuhaeni)
SSI-1996, merupakan hasil penambahan tiga satuan stratigrafi baru ke dalam Sandi Stratigrafi Indonesia 1973. Tiga satuan stratigrafi baru: Satuan Litodemik, Satuan Stratigrafi Gunungapi, dan Sikuenstratigrafi, atau perbandingannya :
1. SSI 1973 : memuat Litostratigrafi, Biostratigrafi, Kronostratigrafi
2. SSI 1996 : Litostratigrafi, Biostratigrafi, Kronostratigrafi, Litodemik, Gunung api, Sikuenstratigrafi.
Satuan Litodemik, untuk pembagian unit batuan beku dan metamorf. Satuan Litodemik dibedakan dengan Satuan Litostratigrafi karena mempunyai kaidah yang berbeda dengan Hukum Superposisi, terutama hubungan kontak dan pelamparannya. Dihimbau bagi pengguna-akademisi-pakar mineral untuk berperan aktif, mengkaji ulang, mengembangkan dalam memperbaiki satuan litodemik yang disesuaikan dengan perkembangan, baik secara konsep maupun aplikasinya di Indonesia. Satuan Stratigrafi Gunungapi, masih perlu dikembangkan, dan disesuaikan dengan perkembangan penerapannya di Indonesia.
Satuan Sikuenstratigrafi, Satuan Sikuenstratigrafi perlu disempumakan, misalnya untuk keperluan korelasi di Ladang Migas; order parasikuen perlu dikembangkan lebih lanjut., sesuai perkembangan konsep dan penerapannya di Indonesia.
Sosialisasi SSI-1996, Wacana tentang usulan Satuan Tektonostratigrafi dan Satuan Stratigrafi Kuarter untuk dimasukkan ke dalam SSI-1996, sampai saat ini belum terwujud. Sosialisasi SSI-1996 setelah PIT-IAGI 1996 di Bandung kurang mendapat perhatian.
Perkembangan Penelitian Stratigrafi di Indonesia : 3 Era
1. Era Pra-SSI.. Satuan stratigrafi lebih didasarkan kepada kerangka waktu, dan penamaannya diikuti oleh kata “series" atau "beds", sebagai contoh Halang Series, Cidadap Beds.
2. Era SSI-1973. Ada perubahan nama, contoh "Halang Series/Beds" menjadi Formasi Halang.
3. Era SSI-1996. Perkembangan satuan stratigrafi sangat mencolok, munculnya Satuan “Sikuenstratigrafi” dan Satuan “Tektonostratigrafi”.
Adanya kemajuan penelitian geologi dan perkembangan tatanama satuan stratigrafi menimbulkan dampak kerancuan penyebutan nama satuan stratigrafi dan pelamparannya : Formasi Kujung menjadi "Kujung Time" (Kujung 1, Kujung 11, dan Kujung 111), tetapi tidak jelas pemerian waktunya. Akan membingungkan lagi apabila yang akan datang, ada penyebutan Sikuen Kujung.
Distribusi/pelamparan Satuan Stratigrafi perlu dijelaskan lebih lanjut, tidak terbatas "dapat dipetakan dalam skala 1 : 25.000" saja, sehingga timbul problem "terlalu banyak nama-nama satuan litostratigrafi". Di sisi lain justru menimbulkan pertanyaan: "sejauh mana validitas pelamparan suatu formasi itu", sebagai contoh Formasi Talangakar dikenal dari Sumatra Selatan sampai Jawa Barat bagian Utara (NW Java Basin).
Munculnya penamaan satuan stratigrafi (Unit Allostratigrafi) yang mengacu kepada "Sandi Stratigrafi Asing" yang pernah muncul dalam Procceding PIT-IAGI sangat tidak diharapkan untuk dikembangkan. Bila dianggap perlu, satuan stratigrafi yang tidak mengacu pada SSI agar diusulkan kepada Komisi SSI-IAGI, untuk dimasukkan menjadi salah satu ayat dalam SSI (Pasal 12 SSI-1996).
Untuk mengatasi kerancuan dan problematika tatanama dan penamaan satuan stratigrafi, Komisi SSI-IAGI perlu memperhatikan setiap perkembangan satuan stratigrafi yang ada di Indonesia, dan mendokumentasikan di dalam bentuk "Lexicon Stratigrafi Indonesia".
Komisi SSI 1996 juga memberi peluang apabila ada usulan perubahan, penambahan, dan lainnya, sesuai dengan Pasal 12 SSI-1996, selanjutnya dapat disampaikan secara tertulis kepada Komisi SSI, IAGI. Pembahasannya dilaksanakan bersamaan PIT-IAGI.
Dengan adanya kepedulian dan peran aktif para Ahli Geologi di Indonesia, diharapkan SSI selalu dapat mengikuti perkembangan satuan stratigrafi pada setiap waktu.
Status Penerapan Lithostratigrafi Dalam Rencanapenerbitan Leksikon Stratigrafi Indonesia
1. Pada prinsipnya Leksikon yang dirintis oleh P3G mengacu pada SSI 1996.
2. Perkembangan kegiatan penelitian dan pemetaan geologi hingga kini, menghasilkan nama satuan stratigrafi baru yang banyak bermunculan baik resmi ataupun tidak resmi.
3. Di antara nama yang diusulkan, terdapat ketidaksesuaian dengan kaidah-kaidah SSI, seperti perbedaan pemerian dan usulan nama yang berbeda untuk satuan batuan yang sama.
4. Hasil penelitian dan pemetaan geologi oleh P3G hingga kini menghasilakan lebih dari 2000 nama satuan batuan di Indonesia.
5. Penyusunan dan penataan kembali tatanama stratigrafi akan dilakukan oleh Puslitbang Geologi dengan tahapan pertama menerapkan litostratigrafi ke dalam bentuk leksikon.
6. Leksikon Stratigrafi Indonesia, menguraikan butir-butir nama satuan, umur, nomenklatur/tatanama, lokasi tipe, pemerian, kandungan fosil, hubungan stratigrafi, ketebalan, penyebaran, lingkungan pengendapan, tataan tektonik, aspek ekonomi, catatan dan acuan, serta dilengkapi dengan peta geografi yang memuat lokasi tipe masing-masing satuan.
7. Diharapkan, di masa mendatang, leksikon ini dapat diakses melalui suatu sistem informasi geologi
2.4.5. Kendala Penerapan Satuan Stratigrafi Gunungapi (Sutikno Bronto)
Ada 4 kendala penerapan satuan stratigrafi gunungapi dalam lingkup ilmu geologi di Indonesia :
1. Kendala Lingkup Penerapan
Selama ini Satuan Stratigrafi Gunungapi hanya diterapkan pada gunungapi Kuarter dan aktif dan penelitian tidak begitu cepat memberikan nilai ekonomi tinggi, maka sangat sedikit ahli geologi yang tertarik untuk mempelajari ilmu gunungapi.
2. Kendala Pendidikan Dasar Geologi
Pendidikan dasar geologi belum sepenuhnya mengacu pada kondisi geologi Indonesia yang berhubungan dengan cekungan sedimentasi busur magma dan gunungapi, menyebabkan pemahaman ilmu gunungapi sangat minim. Akibatnya Ilmu stratigrafi gunungapi terasa menjadi semakin sulit untuk dipelajari.
3. Kendala Kesampaian Medan
Kesampaian medan gunungapi yang sangat sulit, terjal menyebabkan keengganan para ahli geologi untuk melakukan penelitian di daerah gunungapi.
4. Kendala Atmosfer Penelitian
Belum terciptanya atmosfer penelitian di Indonesia secara optimal, apalagi yang menyangkut ilmu dasar dan dalam jangka pendek tidak langsung berorientasi ke ekonomi.
Adanya kendala-kendala tersebut “ Para ahli geologi Indonesia semakin tidak memahami kondisi geologinya sendiri”. Di masa mendatang, sangat mungkin ahli geologi luar negeri akan menjadi lebih tahu geologi gunungapi Indonesia dan lebih mampu/ cepat memanfaatkan potensi sumber daya geologi Indonesia daripada ‘tuan rumah’nya. Akhirnya kita hanya akan menjadi penonton/ pelayan di negaranya sendiri. Apakah kita ingin seperti itu nantinya?
Usaha Penyelesaian
1. Mendorong iklim penelitian pemanfaatan sumber daya gunungapi yang diawali dengan penelitian-penelitian dasar geologi gunungapi,
2. Memperluas lingkup penerapan satuan stratigrafi gunungapi hingga batuan berumur Tersier atau yang lebih tua.
3. Mengubah secara bertahap bahan pendidikan dan pengajaran geologi disesuaikan dengan kondisi geologi Indonesia, serta
4. Memperkenalkan dasar-dasar geologi Indonesia kepada guru dan anak didik sejak pendidikan dasar hingga menengah atas.
Posisi Sikuenstratigrafi Di Dalam SSI 1996. Beberapa Persoalan Yang Timbul. (Wartono Rahardjo)
Konsep Sikuenstratigrafi telah banyak diterapkan dan terbukti mampu memecahkan sejumlah masalah eksplorasi / produksi pada industri minyak dan gas bumi.
Pendekatan
Analisis stratigrafi dengan pendekatan Litostratigrafi prinsipnya berdasarkan pemerian lapisan yang diamati. Penafsiran didasarkan atas kriteria yang teramati, yang sekaligus menjadi pembatas dari penafsiran tersebut. Kriteria tersebut bisa bersifat litologi (Litostratigrafi), fosil (Biostratigrafi) atau kombinasi keduanya sehingga muncul satuan Kronostratigrafi dan Geokronologi.
Analisis Sikuenstratigrafi mulanya juga bersifat deskriptif seperti pada Litostratigrafi namunkemudian telah berkembang menjadi ilmu yang sangat deterministik bahkan bersifat prediktif.
Beberapa Perubahan Pada Konsep Dasar
Ada beberapa konsep dasar Litostratigrafi yang tidak sesuai lagi bila diterapkan dalam pembahasan Sikuenstratigrafi, sehingga perlu pandangan baru dalam pemahaman konsep-konsep dasar yang ada di dalam Litostratigrafi.
Permasalahan Sikuenstratigrafi dalam SSI 1996
Secara eksplisit sikuenstratigrafi sudah tercantum dalam SSI 1996, namun dalam praktek belum banyak digunakan, terutama pada penelitian geologi permukaan. Konsep stratigrafi tradisionil masih lebih banyak digunakan.
Kesimpulan
1. Pendekatan Sikuenstratigrafi yang berakar dari Seismikstratigrafi secara nyata telah membenarkan hasil yang lebih baik dalam penafsiran stratigrafi detail daripada pendekatan stratigrafi konvensional..
2. Banyak praktisi geologi non stratigrafi menjadi ketakutan dan enggan mendalami Sikuenstratigrafi karena banyaknya istilah baru yang khas Sikuenstratigrafi.
3. Keberadaan ketidakselarasan dalam berbagai ujudnya sangat penting dalam Sikuenstratigrafi tetapi masih kurang diperhatikan peranannya pada satuan stratigrafi yang lain, terutama pada satuan Litostratigrafi.
4. Saran yang dapat diajukan sebagai akibat dari diakuinya Satuan Sikuenstratigrafi adalah perbaikan dalam pendefinisian dari korelasi (pasal 7 SSI 1996) serta penambahan pasal tentang ketidakselarasan
2.4.6. Litostratigrafi vs Biostratigrafi Di Cekungan Kutai Hilir: Masukan Bagi Penyempurnaan SSI’96. (Andang Bachtiar)
Perlunya tinjauan ulang penggunaan litostratigrafi untuk menerangkan stratigrafi endapan delta di semua cekungan di Indonesia, terutama apabila dimensi deltanya ekivalen dengan Delta Mahakam purba. Hal ini menjadi sangat penting karena keragaman fasies litologi endapan delta, baik secara lateral/ vertikal yang diakibatkan oleh proses naik-turunnya muka air laut relatif dapat sangat ekstrim, yaitu dari dominan batupasir fluvial sampai ke endapan laut dalam, sehingga satu penamaan formasi saja tidak cukup untuk memerikan stratigrafinya.
2.4.7. Kontribusi Seismik Stratigrafi pada Pembenahan “Satuan Resmi Bawah Permukaan” Sandi Stratigrafi Indonesia 1996. (Awang H. Satyana & Brahmantyo K. Gunawan)
1. SSI 1973 dan 1996, kurang mengakomodasi masalah stratigrafi bawah permukaan.
2. SSI 1996 telah memuat Satuan Sekuen Stratigrafi, tetapi belum berdasarkan kepada data bawah permukaan khususnya data seismik.
2. 5. POLA SEBARAN FORAMINIFERA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN STRATIGRAFI SIKUEN (Studi kasus: Daerah Blora dan sekitarnya/daerah lintang rendah)
Berkembangya konsep stratigrafi sikuen akhir-akhir ini (Vail, 1987, van Wagoner dkk., 1988 dan Haq, 1991) telah mengakibatkan perubahan yang revolusioner dalam pemikiran stratigrafi. Secara hipotesis, biostratigrafi (foraminifera) dapat mengidentifikasi sikuen dan komponen sikuen itu sendiri bilamana data yang lain tidak meyakinkan (van Gorsel, 1988).
Stratigrafi sikuen adalah metode pendekatan yang multidisiplin serta berorientasi pada sejumlah proses untuk menginterpretasi paket sedimen. Paket sedimen tersebut diberi nama sikuen dan dibatasi oleh bidang ketidakselarasan atau bidang kemenerusannya yang selaras dan bersifat regional. Secara teknis, konsep ini bertujuan mengelompokkan urutan susunan batuan sedimen ke dalam suatu sikuen yang didasarkan pada kronologi sebagai pembatas selang genesanya (Vail, dkk, 1984, Vail, 1987, dalam Djuhaeni, 1996).
Istilah sikuen menunjuk pada sikuen orde 3 yang menurut Vail (1992, dalam Handford, 1997) mempunyai selang waktu 0,5 - 3,0 juta tahun. Sikuen tersebut diakibatkan oleh glacio-eustatic change dan tektonik lokal ataupun regional. Mitchum dan van Wagoner (1991) menyatakan bahwa sikuen mempunyai pola tumpukan sedimen (stacking pattern) dan merupakan bukti dari adanya siklus high-frequency eustatic. Sikuen tersebut tersusun atas komponen sikuen (depositional system track: lowstand system track/LST, transgressive system track/TST dan high system track/HST) sebagai respons akibat perubahan muka air laut relatif (Posamentier dan Vail, 1988; van Wagoner dkk., 1988).
Interpretasi stratigrafi sikuen dan komponen sikuennya serta horison seperti batas sikuen (SB), bidang transgresi (TS), bidang maximum flooding surface (MFS), dan condensed section (C) memerlukan pemahaman akan hubungan stratigrafi, umur, batimetri, dan fasies. Dengan demikian, terlihat ada beberapa aspek yang melibatkan biostratigrafi dalam mengevaluasi stratigrafi sikuen.
2.5.1. Material dan metode
Daerah penelitian berada di Cekungan Jawa Timur Utara (Blora, daerah lintang rendah,). Stratigrafi sikuennya sudah dikaji secara rinci oleh Djuhaeni (1994). Sebanyak 101 contoh dari 6 unit sikuen pada empat buah penampang stratigrafi telah diambil. Pengambilan contoh batuan di lapangan dilakukan pada tiap batas komponen sikuen dan selang di antaranya. Semua contoh batuan yang didapat diproses dengan prosedur yang sama. Contoh batuan yang tidak kompak di cuci sebanyak 10 gram berat kering, sedangkan yang sangat kompak disayat tipis. Teknik penghitungan, metode preparasi, dan hitungan set fosil dilakukan secara konsisten pada seluruh contoh yang dianalisis, secara kuantitatif.
Taksonomi foraminifera mengikuti Loeblich & Tappan (1964), sedangkan referensi untuk spesies planktonik dan zonasinya mengikuti Bolli dkk. (1985). Identifikasi spesies bentonik berdasarkan antara lain Barker (1960) dan Adam (1984). Selain menggunakan konsep datum, penentuan umur relatif juga dibantu oleh pola perubahan putaran spesies tertentu (Bolli dkk.,1985). Sementara itu foraminifera besar mengikuti Adam (1970, 1984). Data ekologi genus atau spesies foraminifera dan asosiasi untuk tiap zona batimetri didasarkan pada berbagai sumber seperti Rauwenda dkk. (1984), Murray (1991), Biswash (1976), Hottinger (1983), dan Bilman dkk. (1980). Model batimetri untuk lingkungan pengendapan laut mengikuti model yang digunakan oleh Rauwenda dkk. (1984). Analisis iklim menggunakan metode whole fauna dengan referensi spesies dari Boltovskoy & Wright (1976) dan Be’ & Tolderlund (1971, dalam Haynes, 1981). Salinitas ditafsirkan dari perbandingan Globigerinoides sacculifer/Gs. ruber seperti yang digunakan oleh Berggren & Boersma (1969, dalam Boltovskoy & Wright, 1976). Beberapa parameter dicoba diterapkan untuk melihat pola sebaran foraminifera yang dapat membantu analisis stratigrafi sikuen, yaitu kelimpahan, keragaman, bioevent, biofasies, dan kompisisi fauna.
2.5.2. Pola sebaran/karakteristik foraminifera dalam stratigrafi sikuen
Umur, lingkungan pengendapan, dan iklim purba dari contoh yang dianalisis terlihat pada Gambar 3 sampai dengan 6. Gambar 7 sampai dengan 10 adalah kurva kelimpahan (total, bentonik, planktonik), keragaman (jumlah total species, Yule-Simpson indeks, planktonik, bentonik), dan komposisi foraminifera. Berikut akan dibahas pola atau karakteristik foraminifera pada setiap komponen sikuen dan bidang-bidang batasnya
2.5.3. Batas sikuen
Sebanyak 7 batas sikuen, yaitu SB2, SB3, SB4, SB5, ?SB6, SB8, dan SB9 telah dianalisis. SB2, SB3, SB8, dan SB9 secara fisik di lapangan dicirikan oleh bidang erosional. Hampir semua batas sikuen dicirikan oleh penurunan batimetri secara tiba-tiba, kecuali SB5 dan ?SB6 di lintasan Kali Ledok. Batas tersebut dari hasil analisis foraminifera tidak menunjukkan adanya perubahan batimetri. Pada batas sikuen SB6, meskipun batimetri tidak menunjukkan perubahan, terlihat ada sedikit perubahan pada iklim, kelimpahan dan keragaman total, serta foram planktonik dan bentonik. Batas sikuen juga bersesuaian dengan perubahan iklim (SB8) dari panas ke dingin serta adanya zona biostratigrafi yang hilang. Beberapa batas sikuen dicirikan oleh hadir atau meningkatnya fauna rombakan dan percampuran fauna fasies laut dangkal dan dalam. Hal ini diikuti oleh perubahan batimetri dan/atau ekologi (salinitas), iklim dari panas ke dingin (SB2, SB8, SB9), dan perubahan pH (SB3). Pada Gambar 7 sampai dengan 10 terlihat bahwa keragaman dan, kelimpahan total maupun kelompok foraminifera tidak menunjukkan pola yang konsisten; pola yang dijumpai sangat tergantung pada jenis batuan dan kondisi ekologi lingkungan pengendapannya. Meskipun demikian, terlihat bahwa bila kondisinya sama-sama laut terbuka, batas sikuen dicirikan oleh penurunan kelimpahan totalnya (SB4, SB5, ?SB6, SB8 dan SB9). Beberapa batas sikuen juga dicirikan oleh perubahan komposisi fauna secara mencolok dengan tiba-tiba (SB2 dan SB3).
2.5.4. Lowstand System Track (LST)
Sebanyak 5 selang endapan LST, yaitu LST dari Sikuen 3, 4, 5, 7, dan 10 telah dianalisis. Adanya fosil rombakan yang sukar dipisahkan dengan yang in situ pada endapan LST Sikuen 3 dan 10 membuat pola keragaman dan kelimpahan yang sebenarnya sulit diketahui. Selang LST Sikuen 7 (Gambar 9) memperlihatkan pola penurunan keragaman, baik dalam jumlah specien maupun indeks Yule-Simpson serta keragaman bentonik dan planktoniknya. Sementara itu, LST Sikuen 4 (Gambar 7) juga memperlihatkan penurunan keragaman dan kelimpahan, tetapi LST Sikuen 5 (Gambar 8) menunjukkan hal yang sebaliknya.
Pembahasan di atas menunjukkan bahwa pola keragaman dan kelimpahan tidak konsisten. Secara umum, endapan LST dicirikan oleh hadirnya fauna rombakan yang relatif banyak dan percampuran bentonik laut dangkal dan dalam. Biofasies pada endapan LST yang dianalisis pada laut dangkal menunjukkan lingkungan pengendapan yang relatif lebih dangkal daripada HST unit sikuen di bawahnya, sedangkan yang pada laut yang relatif dalam (SB5 & ?SB 6) tidak selalu menunjukkan pendangkalan batimetri.
2.5.5. Transgressive System Track (TST)
Sebanyak 5 selang endapan TST, yaitu TST dari Sikuen 3, 5, 7, 9, dan 10 telah dianalisis. Selang TST memperlihatkan kecenderungan naiknya kelimpahan total, meskipun pada TST Sikuen 9 pola tersebut tidak begitu tampak karena sulit memisahkan fauna rombakan dan fauna in situ. Pada laut dangkal (TST Sikuen 3 dan 10) terlihat bahwa kelimpahan total bentoniknya meningkat, sedangkan pada laut dalam (TST Sikuen 7 dan 9), kelimpahan dan keragaman planktoniknya yang tampak meningkat. Analisis biofasies menunjukkan bahwa asosiasi faunanya makin ke atas makin menunjukkan lingkungan yang makin mendalam, dan mencapai maksimum kedalaman di sekitar batas antara TST dan HST. Hal ini tampak jelas terutama pada daerah laut dangkal. Parameter lain tidak menunjukkan pola tertentu.
2.5.6. Highstand System Track (HST)
Empat selang HST telah dianalisis, yaitu HST Sikuen 3, 5, 7, dan 9. Selang HST tersebut memperlihatkan karakteristik biofasies yang hampir sama, yaitu makin ke atas makin menunjukkan pendangkalan batimetri (HST Sikuen 3, 7, dan 9); hanya Sikuen 5 yang tidak menunjukkan perubahan batimetri. Kelimpahan dan keragaman jumlah spesies, indeks Yule-Simpson, planktonik dan bentonik, dan komposisi fauna, tidak menunjukkan pola perubahan yang konsisten. Sikuen 3 dan 7 memperlihatkan keragaman yang menurun ke arah atas, sedangkan Sikuen 5 menunjukkan kecenderungan naik ke arah atas. Pada Sikuen 9 terlihat menurun, kemudian berfluktuasi, dan meningkat lagi di akhir selang. Kelimpahan total umumnya mempunyai pola yang berfluktuasi.
2.5.7. Transgressive Surface (TS)
Sebanyak 5 bidang TS telah dianalisis, yaitu bidang TS Sikuen 3, 4, 5, 7, dan 10. Bidang TS Sikuen 3, 4, 5, dan 10 berada pada lingkungan laut relatif dangkal dan dicirikan oleh perubahan batimetri (kecuali Sikuen 5). Di atas bidang TS tampak lingkungan pengendapan yang relatif lebih dalam daripada yang di bawahnya. Sikuen 7 berada pada laut yang relatif dalam dan tidak menunjukkan perubahan batimetri. Keragaman, kelimpahan, dan komposisi fauna tidak menunjukkan pola yang konsisten.
2.5.8. MFS (Maximum Flooding Surface)
Lima bidang MFS telah dianalisis, yaitu MFS Sikuen 3, 5, 7, 9, dan 10. Bidang MFS Sikuen 5, 7, 9, dan 10 berasosiasi dengan condensed section. Pada bidang MFS yang berasosiasi dengan condensed section tampak bahwa kelimpahan dan/atau keragaman yang relatif tinggi berada tepat di bawah bidang MFS dan hanya pada Sikuen 5 yang tidak. Sementara itu, yang tidak berasosiasi dengan condensed section, maksimum kelimpahan dan/atau keragamannya berada di atas bidang MFS. Meskipun dalam satu sikuen terdapat nilai keragaman dan/atau kelimpahan yang hampir sama atau lebih tinggi (TST Sikuen 9 dan LST Sikuen 3), hal tersebut dapat dibedakan dari yang berasosiasi dengan bidang MFS. Nilai yang tinggi tersebut diakibatkan oleh adanya fauna rombakan yang sebagian sulit dipisahkan dengan yang in situ. Bidang MFS juga tampak berasosiasi dengan maksimum kedalaman di dalam satu sikuen. Hal tersebut terefleksi pada asosiasi biofasiesnya. Pada laut dangkal, hal tersebut terlihat dari pemunculan fauna yang relatif lebih dalam dibandingkan dengan yang di atas atau di bawahnya, sedangkan pada laut dalam, tampak dari tingginya kelimpahan dan/atau keragaman total.
Condensed section
Empat condensed section telah dianalisis dalam studi ini. Tiga condensed section (Sikuen 7, 9, dan 10) mempunyai karakteristik foraminifera yang sama, yaitu mempunyai nilai kelimpahan planktonik atau bentonik yang tinggi di dalam satu sikuen, tetapi condensed section Sikuen 5 tidak menunjukkan hal yang sama. Selain hal di atas, condensed section juga berasosiasi dengan biofasies yang menunjukkan lingkungan relatif paling dalam dari satu unit sikuen. Pada penelitian ini terlihat bahwa semua condensed section tersebut diendapkan pada kondisi laut terbuka dengan salinitas normal.
2.5.9. Pemodelan
Berdasarkan model stratigrafi sikuen yang dibuat oleh Vail dkk. (1987), dan hasil analisis pada penelitian ini, dibuat model biostratigrafi dalam hubungannya dengan stratigrafi sikuen. Model tersebut (Gambar 11) menggambarkan perubahan batimetri, ekologi, dan iklim purba pada sikuen dan komponennya yang disusun berdasarkan data biofasiesnya. Horison-horison yang ada pada sikuen disusun berdasarkan perubahan pada biofasies dan bioevent, termasuk di dalamnya karakteristik kelimpahan dan keragaman
2. 6. PENAMPANG STRATIGRAFI
Definisi
Penampang stratigrafi terukur (measured stratigraphic section) adalah suatu penampang atau kolom yang menggambarkan kondisi stratigrafi suatu jalur, yang secara sengaja telah dipilih dan telah diukur untuk mewakili daerah tempat dilakukannya pengukuran tersebut. Jalur yang diukur tersebut dapat meliputi satu formasi batuan atau lebih
Sebaliknya pengukuran dapat pula dilakukan hanya pada sebagian dari suatu formasi, sehingga hanya meliputi satu atau lebih satuan lithostratigrafi yang lebih kecil dari formasi, misalnya anggota atau bahkan hanya beberapa perlapisan saja
Tujuan:
1. Keterangan litologi terperinci yang menyangkut tentang jenis, macam, komponen penyusun, tekstur, kemas, kandungan fosil, struktur sedimen dan lain-lain sifat geologis dari setiap satuan yang terdapat pada jalur tersebut.
2. Kedudukan dan ketebalan dari setiap litologi yang dijumpai.
3. Urutan dari semua litologi yang ada serta jenis hubungan dari dua litologi yang berdampingan, apakah selaras, tidak selaras, menyisip, selang seling, bergradasi normal atau terbalik dan lain sebagainya
Kolom stratigrafi yang diperoleh dari jalur yang diukur siap dijadikan dasar untuk :
1. Penentuan batas secara tepat dari satuan-satuan stratigrafi formal maupun informal, yang dalam peta dasar yang dipakai terpetakan atau tidak, sehingga akan meningkatkan ketepatan dari pemetaan geologi yang dilakukan di tempat dimana dilakukan pengukuran tadi.
2. Penafsiran lingkungan pengendapan satuan-satuan yang ada di kolom tersebut serta sejarah geologi sepanjang waktu pembentukan kolom tersebut.
3. Sarana korelasi dengan kolom-kolom yang diukur di jalur yang lain.
4. Pembuatan penampang atau profil stratigrafi (stratigraphic section) untuk wilayah tersebut.
5. Evaluasi lateral (spatial = ruang) dan vertical (temporal = waktu) dari seluruh satuan yang ada ataupun sebagian dari satuan yang terpilih, misalnya saja :
a. lapisan batupasir yang potensial sebagai reservoir.
b. lapisan batubara.
c. lapisan yang kaya akan fosil tertentu.
d. Lapisan bentonit dan lain-lain.
Ada dua metoda yang biasa dilakukan dalam usaha pengukuran jalur stratigrafi. Metoda tersebut adalah :
• Metoda rentang tali.
• Metoda tongkat Jacob (Jacob’s staff method).
Metoda rentang tali atau yang dikenal juga sebagai metoda Brunton and tape (Compton, 1985; Fritz & Moore, 1988)
“dilakukan dengan dasar perentangan tali atau meteran panjang. Semua jarak dan ketebalan diperoleh berdasar rentangan terbut. Pengukuran dengan metoda ini akan langsung menghasilkan ketebalan sesungguhnya hanya apabila dipenuhi syarat sebagai berikut”:
• Arah rentangan tali tegak lurus pada jalur perlapisan.
• Arah kelerengan dari tebing atau rentangan tali tegak lurus pada arah kemiringan.
Diantara 2 ujung rentangan tali tidak ada perubahan jurus maupun kemiringan
wiiihh keren mas isi blognya ilmu nya bermanfaat banget bagi yg muda seperti saya..
BalasHapusfollow blog saya ya mas..soalnya saya ga ngerti cara follow mas..heheehe
geologi-dokterbumi.blogspot.com
klo hubungannya rekaman stratigrafi untuk menggambarkan geologi suatu daerah pa fan??
BalasHapustulis sumber dong.. soalnya nemu banyak yg sama persis dari http://stratigrafi.blogspot.com/2010/12/pengetahuan-dasar-stratigrafi.html
BalasHapustrus tanggal postingannya lebih duluan yang blog di atas